Daán yahya/Republika

Pada masa awal, ada banyak Muslimah terpelajar yang berperan dalam perkembangan syiar agama.

Oleh: Hasanul Rizqa

Ada banyak sekali anjuran Islam yang mendorong seorang Mukmin untuk terus belajar. Dalam Alquran surah al-Mujadilah ayat ke-11, misalnya, Allah memuliakan Muslimin yang tidak sekadar beriman, tetapi juga berilmu. “Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

 

Mengenai pentingnya ilmu, Islam pun tidak membeda-bedakan perihal jenis kelamin. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menuntut ilmu adalah wajib, baik bagi Muslim laki-laki maupun Muslimah.” Dengan demikian, agama ini membuka lebar kesempatan bagi siapapun, tanpa memandang perbedaan kedua gender, untuk ditinggikan derajatnya sebagai kaum terpelajar.

 

Bahkan, sejarah Islam mencatat, ada banyak sekali perempuan yang menjadi penerang jalan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada zaman Rasulullah SAW, misalnya, istri-istri beliau merupakan madrasah ilmu yang luar biasa. Para ummahatul mu`minin berperan amat besar dalam transmisi keilmuan, utamanya ilmu hadis dan fikih.

 

Salah satu contohnya adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar RA. Setelah Rasulullah SAW wafat, salah satu ummul mu`minin itu dikenal sebagai seorang alim dan guru besar terkemuka. Dalam sebuah wawancara dengan Republika beberapa waktu lalu, Ustaz Abdul Somad (UAS) memaparkan bagaimana peranan istri Nabi SAW itu.

 

Menurut UAS, peranan ‘Aisyah dalam sejarah transmisi keilmuan Islam sangat signifikan. Dai asal Riau ini mengutip perkataan Imam al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, “Seperempat hukum-hukum syariat Islam diriwayatkan dari Aisyah RA.”

 

Pengakuan yang senada, lanjut UAS, juga pernah disampaikan Abu Musa al-Asy'ari dalam Sunan at-Tirmidzi, “Jika ada suatu hadis yang sulit dipahami di antara para sahabat Nabi SAW, maka mereka bertanya kepada ‘Aisyah, dan mereka pun mendapatkan ilmu darinya.”

 

“Menurut Imam adz-Dzahabi, ada lebih dari 100 orang meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah. Total hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah ialah 2.210 hadis,” ujar UAS saat berbincang dengan Republika, beberapa waktu lalu.

DOK  WIKIPEDIA

Alhasil, peranan ‘Aisyah bagaikan suatu “madrasah besar” dalam sejarah Islam, khususnya sepanjang dekade-dekade awal pascawafatnya Nabi SAW.  Beragam ulama mengakui ihwal tersebut. Dalam kitab At-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Saad, Masruq ibn al-Ajda'  memberikan kesaksian, “Aku melihat para ulama senior dari kalangan sahabat Nabi SAW bertanya ihwal hukum faraidh kepada ‘Aisyah.”

 

Kehebatan istri Rasulullah SAW itu bahkan disandingkan dengan empat sahabat utama. Al-Ahnaf bin Qais, seperti dikutip dalam Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir, berkata, “Saya pernah mendengar orasi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, serta banyak tokoh lain. Akan tetapi, tak ada kalimat yang lebih kaya dan lebih baik melebihi ungkapan-ungkapan dari ‘Aisyah.” Imam az-Zuhri dalam Siyar A'lam an-Nubala' menyatakan, “Seandainya dikumpulkan ilmu dari seluruh perempuan Muslim, lalu itu dibandingkan dengan ilmu ‘Aisyah. Maka, ilmu ‘Aisyah akan tetap lebih utama.”

 

Kepandaian ‘Aisyah tidak hanya dalam bidang hadis, melainkan juga fikih, ilmu pengobatan, dan sastra. Ia tak sekadar mengajarkan sunah Rasulullah SAW, tetapi juga mengoreksi beberapa pernyataan para sahabat. Sebab, ada keterangan dari mereka yang kurang sesuai dengan sabda atau tindakan Nabi SAW. Misalnya, kritik ‘Aisyah terhadap Abu Hurairah tentang apakah shalat seseorang batal bila ada orang melintas di depannya.

 

“Beberapa fatwa sahabat Nabi SAW diluruskan ‘Aisyah. Disusun Imam az-Zarkasyi dalam kitab Al-Ijabah li Iradi ma Istadrakathu ‘Aisyah 'an as-Shahabah,” kata UAS.

 

Selama beberapa tahun, salah seorang peneliti bernama Dr Mohammed Akram Nadwi, melakukan penelitian jangka panjang dan skala besar untuk menggali biografi ribuan Muslimah yang berpartisipasi dalam tradisi hadis sepanjang sejarah Islam.

 

Dalam bukunya Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam, Nadwi meringkas kamus biografinya yang terdiri dari 40 volume (dalam bahasa Arab) tentang Muslimah yang mempelajari dan mengajar hadis. Di antara nama-nama yang termaktub di dalam ensiklopedia tersebut adalah Abidah al Madaniyyah.

Seandainya dikumpulkan ilmu dari seluruh perempuan Muslim, lalu itu dibandingkan dengan ilmu ‘Aisyah. Maka, ilmu ‘Aisyah akan tetap lebih utama.

Abidah merupakan seorang pembantu rumah tangga saat Rasulullah SAW masih hidup. Walaupun berstatus sosial demikian, Muslimah tersebut memiliki tekad yang kuat untuk selalu belajar. Di antara minat keilmuannya ialah hadis Nabi SAW.

 

Semangatnya mewujud dalam kebiasaannya. Setelah tuntas mengerjakan pekerjaan di rumah, ia selalu menghadiri majelis-majelis ilmu di Madinah. Ada banyak guru yang didatanginya. Alhasil, dirinya dapat menghafalkan tidak kurang dari 10 ribu hadis.

 

Reputasinya dikenal luas. Suatu ketika, Muhammad bin Yazid sedang menunaikan ibadah haji dan berpapasan dengan seorang ulama hadis asal Andalusia, Habib Dahhun. Ibnu Yazid pun menuturkan kehebatan Abidah, yakni pembantunya sendiri, dalam keilmuan hadis.

 

Mendengar cerita Yazid, Habib Dahhun merasa tertarik untuk menjumpai sang Muslimah terpelajar. Setelah bertemu, sang syekh meminta Abidah untuk menghadiri pertemuan ilmiah yang diselenggarakan dirinya. Setelah mendengar pengakuan tentang bakat dan kecerdasan perempuan itu dari lisan Habib Dahhun, Ibnu Yazid akhirnya membebaskan Abidah.

 

Seiring waktu, Habib kemudian menikah dengan Abidah. Pasangan ahli hadis ini lantas kembali ke Andalusia. Di negeri kawasan barat dunia Islam itu, Abidah mendapatkan kasih sayang dan bimbingan yang intens dari sang suami. Alhasil, pengetahuannya dalam bidang hadis kian meningkat pesat.

 

Mohammad Akram Nadwi dalam bukunya, Al-Muhaddits, menggarisbawahi bahwa terdapat hampir delapan ribu wanita Muslim yang menjadi perawi hadis. Dan, Abidah diposisikan dalam buku itu sebagai wanita dari generasi tabiin yang keempat terbanyak dalam hal meriwayatkan hadis.

 

Tidak sedikit laki-laki yang berguru kepada Abidah. Selain itu, ia juga menggelar majelis-majelis ilmu yang membahas fikih perempuan. Luasnya cakupan keilmuannya, khususnya dalam hadis, membuktikan bahwa kaum Muslimah pun terdepan dalam menerangi jalan keilmuan Islam. Bahkan, banyak perempuan yang kemudian mengikuti jejaknya, menjadi ilmuwan yang brilian.

DOK MAXPIXEL

Senarai Nama Perempuan Ulama

Kegemilangan peradaban Islam turut ditopang intelektualitas kaum Hawa. Memang, sumbangsih perempuan Muslim tidak begitu banyak tercatat dalam buku-buku sejarah klasik. Bagaimanapun, dalam era kontemporer kini kian banyak peneliti yang menyoroti peran wanita dalam sejarah.

 

Misalnya, kajian yang dilakukan Mohammed Akram Nadwi. Ia telah melakukan proyek jangka panjang untuk menggali biografi ribuan perempuan yang berpartisipasi dalam tradisi hadis sepanjang sejarah Islam. Hasil kerja kerasnya itu mewujud buku yang berjudul Al-Muhaddithat: Cendekiawan Wanita Dalam Islam. Buku biografi itu terdiri atas 40 jilid dari para perempuan Muslim yang mempelajari dan mengajarkan hadis.

 

Bahkan, dalam bukunya ini, ia menunjukkan peran sentral yang dimiliki perempuan dalam melestarikan ajaran Nabi, yang tetap menjadi panduan utama untuk memahami Alquran sebagai aturan dan norma untuk kehidupan.

 

Seorang peneliti lainnya, Aisha Abdurrahman Bewley juga menerbitkan buku yang berjudul Muslim Women: A Biographical Dictionary. Risalah ini merupakan kelanjutan dari karyanya sebelumnya, Islam: The Empowering of Women. Buku biografi tersebut merupakan sumber referensi yang komprehensif tentang perempuan Muslim sepanjang sejarah Islam dari abad pertama hingga sekitar pertengahan abad ke-13 M.

 

"Ketika saya membaca referensi biografi saya, saya terkejut dengan jumlah referensi wanita, dan banyaknya wanita yang diwakili di semua bidang kehidupan, dari para sarjana hingga penguasa,” kata Aisha dikutip dalam artikel yang ditulis Salim al-Hassani dalam situs muslimheritage.com.

 

Menurut dia, peran perempuan Muslim tidak berarti hanya terbatas pekerjaan rumah saja, tapi mereka juga banyak yang aktif di berbagai bidang. Muslimah yang berbisnis masih bisa menjadi seorang ibu dan seorang sarjana masih bisa menjadi seorang istri.

 

Beberapa cendekiawan Muslim mengungkapkan bahwa di antara sekian banyak gurunya di antaranya adalah juga seorang perempuan.

 

Seperti halnya Ibnu Hajar yang belajar dengan 53 perempuan, as-Sakhawi yang pernah belajar kepada 68 perempuan, dan as-Suyuti belajar dengan 33 perempuan, seperempat dari jumlah gurunya.

 

Maka, dapatlah dibayangkan betapa banyak jumlah kaum Muslimah terpelajar. Peran mereka tidak kalah krusial dengan rekan-rekannya dari kaum Adam. Berikut ini adalah beberapa nama yang tercatat dengan “tinta emas” sejarah peradaban Islam.

Aku sudah mencari segala cara beribadah. Tak ada yang lebih menenangkan hatiku ketimbang duduk bersama para terpelajar dan bertukar ilmu dengan mereka.

Asy-Syifa bint Abdullah (wafat 20 H)

 

Tokoh ini bernama lengkap Laila binti Abdullah bin Abdu Syams al-Qurasyiyah al-Adawiyah. Dalam kitabnya, Al-Ishabab, Ibnu Hajar menggambarkan sosok asy-Syifa sebagai salah seorang cerdik cendekia dari kalangan perempuan pada zaman Rasulullah SAW. Bahkan, wanita ini termasuk dari amat sedikit orang Islam yang mahir literasi, yakni bisa membaca dan menulis pada masanya.

 

Di Madinah, Nabi SAW memerintahkan Laila untuk mengajarkan baca dan tulis kepada para perempuan. Lama kelamaan, reputasinya kian dikenal sebagai pendidik. Karena itu, beberapa litertur sejarah mencatat namanya sebagai guru Muslimah pertama dalam Islam.

 

Bahkan, keahliannya pun tampak dalam bidang ilmu pengobatan. Beberapa metode penyembuhan dikuasainya. Hal itu membuatnya mendapat julukan sebagai asy-Syifa alias “sang penyembuh.”

 

Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, Laila sempat ditunjuk sebagai seorang manajer pasar di Madinah. Menurut catatan Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat, salah satu tugas wanita nan cerdas ini adalah mengawasi harga-harga komoditas.

DOK  WIKIPEDIA

Aisyah bint Abu Bakar (wafat 678 M)

 

Rasulullah SAW menikah dengan gadis ini pada tahun kedua Hijriyah. Putri Abu Bakar ash-Shiddiq tersebut sejak muda telah terkenal dengan kecerdasannya. Daya tangkap dan memorinya begitu kuat sehingga dirinya menjadi salah seorang periwayat hadits paling banyak. Sekurang-kurangnya, salah seorang ummahatul mu`minin ini meriwayatkan sebanyak 2.210 hadits yang terus terpelihara sampai saat ini.

 

Asma Sayeeed dalam buku Women and the Transmission of Religious Knowledge in Islam (2013) mencatat, ‘Aisyah tidak hanya unggul dalam ilmu hadis, tetapi juga menguasai pengobatan dan sastra. Sebagian besar masa hidupnya, yakni selama 44 tahun selepas Rasulullah SAW wafat dicurahkan untuk mengajari kaum Muslimin mengenai agama mereka.

 

‘Aisyah juga tercatat sebagai pendiri madrasah pertama bagi perempuan dalam Islam. Majelis ilmu yang digelarnya selalu ramai jamaah, termasuk kalangan laki-laki. Banyak sekali muridnya yang kemudian meneruskan semangatnya dalam perjuangan menuntut ilmu, termasuk dari kalangan Muslimah.

 

Umm Waraqah bint Abdullah (wafat   sekitar 640-an M)

 

Nama lengkapnya Umm Waraqah bint Abdullah bint Harits. Merujuk hadits riwayat Abu Dawud, keilmuannya membuat Rasulullah merestui Umm Waraqah menjadi imam di rumah dan kampungnya di Madinah. Ummu Waraqah tidak hanya pandai membaca Alquran, melainkan juga memahami dan menghafalnya dengan baik.

 

Ia turut berjasa menghimpun dan menuliskan ayat-ayat Alquran pada tulang, kulit, pelepah kurma dan lain-lain. Setelah Rasulullah SAW wafat, dan Abu Bakar berencana menghimpun Alquran, Ummu Waraqah ditunjuk Khalifah untuk menjadi salah seorang rujukan penting bagi Zaid bin Tsabit sebagai pelaksana proyek.

DOK  WIKIPEDIA

Amrah bint Abdurrahman (wafat 717 M)

 

Di antara murid Aisyah yang paling cemerlang dari kalangan tabiin adalah Amrah bint Abdurrahman. Merujuk Yahya ibn Main dan Ali ibn al-Madini, Amrah adalah ulama paling tepercaya pada masanya dan yang paling ahli terkait hadits-hadits yang diriwayatkan Aisyah.

 

Sejarah Islam juga mencatat peran penting Amrah dalam pencatatan hadits. Saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz pertama-tama mememerintahkan pengumpulan hadist pada Gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, ia diminta merujuk pada dua ulama penghafal hadits. Di antara dua ulama itu adalah Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq.

 

Selain Amrah, murid-murid Aisyah lainnya yang dinilai cerdas dan terpecaya periwayatan hadistnya adalah Hafsah bint Sirin dan Aisyah bint Thalhah.

 

Umm al-Darda as-Sughra (abad ke-7)

 

Dialah seorang perempuan ulama yang dikenang dalam sejarah. Menurut Mohammad Akram Nadwi dalam Al-Muhaddithat (2007), sang Muslimah menebarkan ilmu di wilayah Syam, termasuk Damaskus dan Palestina. Reputasinya tinggi sebagai seorang alim. Seorang tabiin, Iyas bin Mu'awiya, pernah berkata bahwa tidak ada yang melampaui Umm al-Darda dalam hal pengetahuan ilmu-ilmu agama pada masanya. Bahkan, seorang raja Dinasti Umayyah, yakni Abdul Malik bin Marwan diketahui sebagai salah satu murid Umm al-Darda.

 

Umm al-Darda juga terkenal dengan ucapannya yang menekankan nilai ibadah dari mencari ilmu. "Aku sudah mencari segala cara beribadah. Tak ada yang lebih menenangkan hatiku ketimbang duduk bersama para terpelajar dan bertukar ilmu dengan mereka,” katanya.

top

Para Puan Dalam Sejarah Ilmu Islam